STRATEGI MEMBANGUN GERAKAN LITERASI DI LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS PONDOK PESANTREN
Latar Belakang masalah
Level literasi Indonesia menurut laporan Program for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh OECD, pada tahun 2022 Indonesia menjadi bagian dari 10 negara yang memiliki tingkat literasi rendah pada peringkat 62 dari 70 negara (National Center for Educational Statistics, 2022). Diperkuat dengan laporan Indeks Aktivitas Literasi membaca (IKLM) yang menjelaskan bahwa dari 34 provinsi di Indonesia, 9 provinsi (26%) masuk dalam kategori aktivitas literasi sedang (angka indeks antara 40,01 – 60,00); 24 provinsi (71%) masuk kategori rendah (20,01 – 40,00); dan 1 provinsi (3%) masuk kategori sangat rendah (0 – 20,00) (Agustina, 2022). Artinya sebagian besar provinsi berada pada level aktivitas literasi rendah dan tidak satu pun provinsi termasuk ke dalam level aktivitas literasi tinggi dan sangat tinggi (nilai indeks antara 60,01 – 80,00 dan 80,01 – 100,00).
Literasi tidak hanya dipahami sebagai aktivitas membaca dan menulis an sich, akan tetapi menuntut adanya keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dalam menilai sumber-sumber ilmu dari berbagai sumber, baik cetak, visual, digital, maupun auditori (Keefe & Cope3land, 2011), kemampuan literasi diharapkan mampu mengembangkan sikap positif (Zua, 2021). Saat ini literasi memiliki arti yang sangat kompleks dan luas, seperti literasi dasar, literasi keuangan, literasi digital, literasi sains, literasi agama (Luna et al., 2020).Istilah literasi agama dicetuskan oleh Prothero yang dikutip oleh Enstedt ketika menjelaskan arah baru reformasi pendidikan di negara sekular yang memperjuangkan integrasi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasionalnya (Enstedt, 2022).
Gagasan ini kemudian dikembangkan Gallagher yang menjelakan bahwa literasi agama tidak hanya mencakup penguasaan pengetahuan dasar keagamaan, tapi juga wawasan tentang bagaimana orang menggunakan pengetahuan dasar itu dalam membentuk orientasi diri mereka di dunia hingga memberikan arah dan makna bagi kehidupan bermasyarakat (Welsh, 2017). Dalam literasi agama, setiap individu tidak hanya dinilai dengan kemampuan atau keahlian mengenai ajaran dan praktik agama tertentu, tetapi mampu menggunakan dan menempatkan ajaran agama tersebut dalam konteks tempat dan waktu yang berbeda-beda untuk tujuan keharmonisan social (Hannam et al., 2020).Uraian konsep dan tujuan literasi agama yang dikembangkan Gallagher sejalan dengan tujuan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yaitu Pondok pesantren (Zuhdi & Sarwenda, 2020).
Pondok pesantren memiliki tujuan yang sama dengan tujuan literasi agama yaitu membentuk individu yang memiliki kemampuan atau keahlian untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati serta mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam, dengan menekankan pentingnya moral atau budi pekerti baik dan berkeadaban tentang keagamaan sebagai pedoman atau pegangan dalam berperilaku sehari-hari (Badruzzaman et al., 2023).Pondok pesantren dengan Pendidikan formal dan madrasah diniah memiliki karakteristik tersendiri dalam pengembangan literasi agama, khususnya dalam dimensi kepemimpinan yang didasarkan pada karakteristik pribadi dan profesionalisme sang kyai, unsur-unsur struktural pesantren, serta bahan aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu yang dianut. Penelitian mengenai profesional kiai juga memilki peran terhadap pengembangan mutu Pendidikan di pondok pesantren sebagaimana hasil penelitian (Fanani, 2022) dan (R. M. Fauzi, 2018) bahwa profesionalisme kyai dalam pengambilan keputusan menggunakan pendekatan kolektif-kolegial dan situasional yaitu instruktif, supportif leadership dan partisipatif. Kebijakan lain yang dilakukan Kyai adalah kebijakan kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan melalui pelimpahan wewenang, delegasi tugas, dan pergantian jabatan (Zarkasyi, 2021).
Menurut Peter Drucker, seorang profesional adalah seseorang yang memiliki “pengetahuan sistematis” dalam bidang tertentu dan menggunakan pengetahuan tersebut dengan etika untuk membantu orang lain (Enstedt, 2022) sedangkan Eliot Freidson, mengatakan bahwa profesional adalah seseorang yang memiliki otoritas dalam bidang tertentu dan dianggap sebagai ahli oleh masyarakat (Mann & Webb, 2022)hal ini senada dengan pendapat Weber bahwa otoritas merupakan sebuah kemampuan untuk membuat orang lain mau menerima dan melakukan apa yang menjadi kemauan kita walau mungkin hal tersebut tidak disetujui, bahkan ditentang (Porfírio et al., 2021). Kyai sebagai pemimpin pesantren memiliki otoritas dengan output kebijakan yang ditaati oleh seluruh struktur organisasi karena dinilai sebagai individu yang memiliki kompetensi dengan fungsinya sebagai mediator, dinamisator, maupun sebagai motivator bagi komunitas yang dipimpinnya (Safi`i, 2020). Otoritas kyai menjadi bagian fundamental agar kebijakan dan pelaksanaan literasi agama yang ditetapkan kyai berjalan efektif dan berorientasi mutu berkelanjutan (Fanani, 2022).
Di antara karakteristik literasi agama dalam Pendidikan Islam adalah (1) fokus kajian pada teks baik teks-teks sakral seperti Alquran, hadist, maupun teks-teks keagamaan yang merupakan hasil pemikiran atau perenungan keagamaan yang dikenal dengan istilah kitab kuning, (2) Teks-teks tersebut dikaji dan diajarkan antargenarasi dengan sanad dari guru ke guru, (3) Teks-teks keagamaan yang sakral (kitab suci) menjadi bagian dari ritual dan aktivitas keagamaan, (4) Teks-teks keagamaan, baik yang sakral maupun profan menjadi bagian dari identitas kolektif dan individu (Hatika, 2021). Sehingga melalui karakteristik literasi agama tersebut, maka semakin jelas kedudukan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang didalamnya mengkaji tentang ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dan menekankan pada pembentukan moral atau akhlak santri yang sejalan dengan tujuan literasi agama (Jafar, 2022).
Startegi implementasi Literasi
strategi implementrasi literasi Beberapa tahapan temuan kajian dilakukan oleh pimpinan Pondok Pesantren /madrasah dalam mengkontruksi kesadaran literasi agama para santri sehingga menjadi Lembaga rintisan berbasis literasi, seperti dirinci di bawah ini:1. Penetapan Kebijakan Literasi Agama dalam Visi Misi Pondok Pesantren Saat pembuatan kebijakan, Pimpinan Pondok Pesantren memerlukan keterlibatan warga pesantren untuk mengutarakan ide dan gagasan untuk meraih kesepakatan bersama, sehingga pelaksanaan rencana kedepan dapat dilakukan dengan rasa antusias dan dapat mencapai tujuan secara efektif. Setelah proses brainstorming dengan seluruh stakeholders, Berdasar uraian hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pimpinan pondok pesantren dengan otoritasnya serta kemampuan keprofesioanalnya mampu menyusun kebijakan melalui visi literasi agama sebagai salah satu tujuan pengembangan kualitas santri di pondok pesantren. Perilaku pemimpin ini secara singkat disebut sebagai otoritas kyai (leadership authority). Kyai adalah orang yang paling bertanggung jawab atas segala sesuatunya yang terjadi di pondok pesantren (R. M. Fauzi, 2018).Efektivitas proses Pendidikan di pondok pesantren akan optimal, apabila Kyai mampu mengatur dan membimbing tenaga pendidik secara baik sehingga para pengajar dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Status legitimate authority, menurut Weber, terjadi manakala kekuasaan yang diterapkan dianggap valid dengan indikator orang-orang yang ada di bawah otoritas secara sukarela memberikan kepatuhannya. Berdasarkan relasi penguasa dan yang diperintah ini, Weber mengklasifikasi tiga sumber berikut jenis-jenis legitimate authority tersebut, yaitu: (1) Otoritas Tradisional; (2) Otoritas Karismatis; dan (3) Otoritas Legal-Rasional (Fanani, 2022). Dalam konteks ini, kepemimpinan Kyai di Pondok Pesantren dapat dikategorikan sebagai otoritas kharismatik karena kemampuan Kyai untuk menginspirasi orang lain agar sementara waktu menunda kehidupan normal mereka dan bergabung dalam “kekuatan perubahan” dari Nol Literasi menuju peradaban literasi agama (Musaropah, 2018). Kekuatan ini berasal dari Kewibawaan, kompetensi, dan kematangan religius seorang pemimpin adalah dasar dari otoritas kharismatik Kyai dan pesan-pesannya, yang didasarkan pada kondisi literasi bangsa Indonesia yang masih rendah Menetapkan strategi implementasi pengembangan literasi agama Guna memastikan visi misi yang ditetapkan dalam meningkatkan kesadaran literasi agama, yang dilakukan selanjutnya adalah memilih strategi implementasi pengembangan literasi agama guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ada dua bentuk aktivitas dalam pengembangan literasi agama antara lain sebagai berikut;Pertama melalui strategi pembiasaan. Pada tahap pembiasaan Pimpinan pondok pesantren menetapkan suatu kebijakan untuk mewajibkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk membaca Al-Qur’an bersama selama 15 menit pada pukul 06.15- 06.30 WIB, kemudian dilanjutkan dengan membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Sedangkan metode pembelajaran untuk mendukung literasi agama yang digunakan oleh tenaga pengajar di Pondok Pesantren adalah strategi story telling dan guide reading, survei, question, read, recite, review.
Beberapa metode tersebut diimplementasikan oleh tenaga pengajar di Pondok Pesantren untuk membiasakan peserta didik berkosentrasi dalam membaca, melatih kompetensi membaca cepat, melatih kompetensi berkenaan dengan isi bacaan, dan mengembangkan kemampuan membaca kritis dan komperensif (Observasi, 2023). Selain dengan menggunakan metode yang bervariasi dalam pembelajaran, tenaga pengajar pesantren secara aktif juga melibatkan pesantren lainnya bekerja sama untuk mengembangkan program literasi agama melalui berbagai macam agenda kegiatan menarik, seperti perlombaan literasi misalkan baca puisi, lomba story telling, teater, debat ilmiah dan maupun program yang lain yang termasuk dalam bidang literasi agama antar santri pondok pesantren di Kabupaten Lumajang. Pimpinan pondok juga mengembangkan lingkungan fisik madrasah yang kaya literasi seperti menyediakan perpustakaan (Observasi, 2023). Hal ini dilakukan untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca buku non teks pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat khusus, atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu (Utama & Sofyan, 2021) .
Kedua, melalui strategi kunjungan rutin ke Perpustakaan. Perpustakaan di Pimpinan pondok termasuk perpustakaan yang sangat memadai. Hal ini bisa dilihat dari kondisi perpustakaan yang rapi, bersih, dan nyaman dengan koleksi buku yang ditata dengan baik. Selain itu, Pimpinan pondok juga menyediakan sarana dan prasarana pendukung lainnya seperti menyediakan gubug baca dan kantin literasi, mading dan penyediaan buku bacaan yang menarik untuk dibaca peserta didik. Pembinaan kemampuan literasi agama juga dilakukan melalui kegiatan di perpustakaan pesantren dan kunjungan ke perpustakaan kota/daerah. Menyediakan sudut baca kelas, pojok baca, kantin baca dan menonton video pendek. Pengembangan kemampuan literasi melalui kegiatan di perpustakaan pesantreb dan perpustakaan kota/daerah atau sudut baca kelas dengan berbagai kegiatan, antara lain: membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), menonton film pendek, dan/atau membaca teks (cetak, visual/digital (materi dari internet); peserta didik merespon teks (cetak/visual/digital), fiksi dan non fiksi, melalui beberapa kegiatan sederhana seperti menggambar, membuat peta konsep, berdiskusi, dan berbincang tentang buku (Observasi, 2023).
Strategi implementasi pengembangan literasi agama yang dikembangkan sejalan dengan lima indicator strategi yang di jelaskan oleh Porter, antara lain yaitu : (1) Tahapan atau rencana kegiatan spesifik yang harus dilakukan. (2) Adanya orang yang bertanggung jawab agar setiap tahap atau tindakan dapat diselesaikan dengan baik. (3) Jadwal untuk menjalankan setiap tahapan atau tindakan. (4) Sumber daya yang perlu dialokasikan agar tahapan atau tindakan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. (5) Adanya mekanisme umpan balik untuk memantau setiap tahapan atau tindakan (Kinyuira, 2014)..
Monitoring kegiatan Literasi
Monitoring proses dan program pendampingan literasi agamaBerdasarkan data dan temuan lapangan bahwa pengembangan literasi agama di Pondok Pesantren /madrasah tersebut tidak terlepas dari aktivitas monitoring. Pimpinan Pondok Pesantren /madrasah mendorong keterlibatan semua pihak terutam tenaga pendidik (asatidz madrasah diniah dan guru pendidikan formal) untuk mengambil bagian dalam pengembangan budaya literasi agama di Pondok Pesantren /madrasah. Peran pimpinan Pondok Pesantren /madrasah sebagai pembuat sekaligus pengambil kebijakan pada dasarnya adalah bagian yang inheren dari peran kepemimpinan apapun termasuk kepemimpinan pada organisasi Lembaga Pendidikan Islam. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam suatu organisasi. Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin para pengikutnya. Kegiatan yang harus tenaga pengajar lakukan dalam proses monitoring adalah memantau keaktifan partisipasi santri, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, seperti melalui delegasi guru atau melalui jurnal aktivitas literasi masing-masing santri yang diberikan oleh pesantren. Jurnal aktivitas digunakan sebagai bukti santri mengikuti program literasi yang ditandatangani oleh tim yang bertugas. Jurnal aktivitas literasi digunakan sebagai bahan evaluasi program literasi agama, mengukur kemajuan literasi santri selama periode waktu tertentu, serta dapat menjadi acuan pemberian penghargaan bagi santri yang paling aktif dalam mengikuti program literasi agama (Observasi, 2023).
Sedangkan pengawasan program dilakukan oleh pimpinan Pondok Pesantren /madrasah secara periodik dalam mengukur keefektifan pelaksanaan berbagai program yang dilaksanakan oleh tenaga pengajar dalam mengelola kelas pembelajaran mereka untuk meningkatkan kemampuan literasi agama para santri. Selain monitoring mingguan, tenaga pengajar juga melakukan monitoring bulanan. Monitoring bulanan dilakukan satu kali dalam sebulan yang dilakukan di kantor pesantren melalui kegiatan focus group discussion (FGD) (Observasi, 2023).Kegiatan focus group discussion (FGD) dilakukan untuk mengetahui keberhasilan maupun kendala yang dihadapi oleh para tenaga pengajar maupun peserta didik ketika mengikuti program literasi selama satu bulan (Welsh, 2017).
evaluasi
Pengasuh Pondok Pesantren /madrasah dan tenaga pengajar kemudian mencari alternatif solusi secara bersama-sama untuk memecahkan masalah yang telah diidentifikasi.Hal yang menjadi perhatian utama dalam melakukan kegiatan pemantauan di Pondok Pesantren /madrasah adalah menyangkut berbagai indikator seperti kinerja pengajar, ketersediaan dan pembaruan sumber bacaan bagi peserta didik, strategi atau metode yang digunakan dalam pendampingan literasi, dan media pengajaran. Hasil dari pemantauan yang telah dilaporkan kemudian menjadi acuan bagi pesantren untuk menyusun program berkelanjutan . Program berkelanjutan yang dilakukan berupa bimbingan konseling, motivasi, serta berbagai pemecahan masalah yang dipimpin oleh pimpinan sebagai manajer di Pondok Pesantren /madrasah.